Rabu, 24 Maret 2010

Jejak Sejarah di Jatinangor

Rabu, 24 Maret 2010



Foto diambil dari atas jembatan penyebrangan depan Kampus Unpad pada 2005.


ALKISAH
, pada masa kolonial, Jatinangor terkenal sebagai kawasan perkebunan. Kini, kawasan ini dikenal sebagai kawasan pendidikan. Di kecamatan yang terletak di perbatasan antara Bandung dan Sumedang itu terdapat empat perguruan tinggi: Universitas Padjadjaran (Unpad), Universitas Winaya Mukti (Unwim), Institut Manajemen Koperasi Indonesia (Ikopin), dan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) serta beberapa sekolah negeri dari tingkat SD hingga SMU. Jatinangor sejak 1980-an dihuni oleh ribuan mahasiswa dari berbagai daerah di tanah air, warga setempat, dan pendatang yang mengadu nasib di wilayah ini.

Di antara empat perguruan tinggi terkenal dan geliat roda pembangunan, terdapat dua bangunan bersejarah yang menjadi saksi bisu kawasan itu. Bangunan tersebut adalah Menara Loji, terletak di sekitar halaman Universitas Winaya Mukti (Unwim) dan Jembatan Cincin, terdapat di desa Cikuda atau seberang Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (Fikom Unpad). Kedua bangunan ini memiliki riwayat sejarah yang panjang. Jika ditarik jauh ke belakang, tersebutlah nama WA Baron Baud seorang administratur perkebunan karet berkebangsaan Jerman di Jatinangor baheula. Ia mendirikan Ondernemingen van Maatschappij Baud (Perusahaan Perkebunan Baud) pada 1841 dan menanamkan modal bersama perusahaan perkebunan swasta milik Belanda. Baron Baud menguasai perkebunan yang luasnya hampir 962 hektare. Jika diperkirakan, lokasinya dari kampus IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri) sekarang sampai ke kaki gunung Manglayang. Baron Baud bukan satu-satunya orang Jerman yang memiliki perkebunan di wilayah Jawa Barat. Emir dan Theodore Hellferich tercatat juga sebagai orang Jerman pemilik Perkebunan Gunung Mas Bogor dan Perkebunan Cikopo Bogor.

Menara Loji didirikan sekitar tahun 1800-an. Dahulu fungsi menara ini sebagai pemanggil para buruh perkebunan karet yang jumlahnya tidak sedikit. Lonceng menara ini selalu berbunyi tiga kali dalam sehari. Tiap bunyi lonceng merupakan simbol penanda untuk setiap kegiatan perkebunan. Waktu-waktu lonceng itu berbunyi yaitu pukul 05.00 pagi, pukul 10.00 pagi, dan pukul 14.00 siang. Pukul 05.00 pagi berbunyi untuk menandakan aktifitas penyadapan karet, pukul 10.00 pagi berbunyi sebagai peringatan pengumpulan mangkok-mangkok getah karet, pukul 14.00 siang berbunyi guna penanda berakhirnya kegiatan produksi karet.


Menara Loji depan kampus Unwim.

Jembatan Cincin—begitulah masyarakat sekitar menyebutnya—mempunyai peranan yang penting dalam urusan transportasi hasil perkebunan karet di kawasan ini. Jembatan ini dahulu merupakan jalur kereta api yang menghubungkan Sumedang dengan Bandung. Ia tercatat sebagai jembatan penggerak laju ekonomi yang terpenting untuk kawasan ini. Jembatan ini dibangun oleh perusahaan kereta api Belanda bernama Staat Spoorwagen Verenigde Spoorwegbedrijf pada 1918 (Aci dan Tia dalam dJatinangor, September 2004). Selain dua bagunan tersebut, jalan raya utama di kawasan ini juga menyimpan nilai historis. Jalanan utama ini merupakan “patahan” dari Jalan Raya Pos (Grote Postweg) yang dibangun para pekerja rodi pada masa gubernur jenderal Herman Willem Daendels tahun 1808.

Sekarang dimanakah WA Baron Baud beristirahat abadi? Ternyata “sang juragan” karet baheula bersemayam di sekitar kawasan ini juga. Makamnya terletak tidak jauh dari Menara Loji. Makam Baud berdampingan dengan Mimosa, anak perempuan Baud yang lahir dari seorang nyai pribumi.



Jembatan Cincin.

Di tengah kesemrawutan lalu-lintas dan geliat modernitas kawasan ini, dua bangunan tersebut seolah “menunggu runtuh”. Kini kedua bangunan bersejarah itu terlihat tidak terawat. Menara Loji penuh dengan coretan di dindingnya. Yang juga ironis yaitu peristiwa pencurian lonceng Menara Loji pada 1980-an. Hingga kini misteri pencurian benda bersejarah itu masih buram ditelan waktu. Sedangkan Jembatan Cincin masih tetap berguna, meskipun hanya sebagai penghubung pejalan kaki dari desa Cikuda ke Cisaladah. Namun adakah upaya pelestarian oleh pemda setempat atau dinas yang terkait untuk kedua bangunan ini? Mungkin nasibnya akan sama dengan bangunan-bangunan bersejarah lainnya di Indonesia ini, terkubur bersama memori masa lalu.

* Fandy Hutari: www.sandiwaradanperang.blogspot.com

0 komentar:

Posting Komentar

 
◄Design by Pocket, BlogBulk Blogger Templates. Distributed by Deluxe Templates