Sabtu, 01 Mei 2010

Selamat Tinggal Jatinangor

Sabtu, 01 Mei 2010 0
Wacana dan isu yang mengatakan bahwa wilayah Jatinangor sedang menjadi "perebutan" antara pemda Bandung dan Sumedang. Perebutan ini wajar jika kita melihat bagaimana potensi yang dimiliki Jatinangor, Setiap tahun lahir selalu bangunan baru. Setiap waktu usaha baru bermunculan. Setiap bulan penghasilan pajak masuk ke pemerintahan.
Belum jika kita melihat imaj yang dipunyai jatinangor, sebagai wilayah intelektual. Tentu tak disadari Jatinangor menjadi penting.

Tak disadari, tidak lebih lama dari dua tahun ke depan. Wilayah pendidikan itu tidak lagi bernama Jatinangor. Masih ada Jatinangor. Tapi sudah bergeser posisi. Jatinangor kini meliputi sekitaran wilayah Universitas Winaya Mukti hingga Kiara Payung. Selebihnya, mungkin akan masuk dalam wilayah Cileunyi...
Jatinangor akan resmi menjadi kota. Seiring dengan hilangnya bentang sawah di sana. (red-idu)

Rabu, 24 Maret 2010

Rabu, 24 Maret 2010 0
Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, kini ibarat Kabayan yang linglung di tengah kesibukan kota metropolitan. Terjadi krisis budaya akut di sini. Tapi di tengah gejala itu, berdiri sebuah sanggar yang punya tujuan luhur: mewariskan seni tradisi Sunda. Sanggar tersebut bernama Motekar.

Adalah Supriatna (58), seorang budayawan dan mantan kepala sekolah SD Jatinangor yang memelopori berdirinya sanggar ini. Sejak awal tahun 1980, ia mulai menggeluti seni tradisi Sunda. Awalnya ia mengadakan kegiatan berkesenian di rumahnya pada tahun 1980. Saat itu, ia memberikan pelatihan seni tradisi bagi siswa-siswanya untuk menghadapi hari-hari besar, seperti 17 Agustusan, dan berbagai perlombaan. Selain siswa-siswanya, ia juga mengajak penduduk sekitar rumahnya untuk ikut dalam kegiatan tersebut.

Pada tahun 2000, Supriatna mendirikan Yayasan Motekar di rumahnya. Yayasan ini membawahi berbagai macam kegiatan, seperti pendidikan (taman kanak-kanak, kursus bahasa Inggris, bahasa Jepang, dan matematika), kesenian dan kebudayaan, juga usaha kecil. Dari sini, pria yang tak kenal lelah mengampanyekan gairah seni tradisi Sunda ke seluruh penjuru Jatinangor ini terus mengembangkan perhatiannya pada masalah seni dan budaya Sunda. Kemudian pada tahun 2002 Sanggar Motekar resmi berdiri di rumahnya yang sederhana, Jalan Kolonel Achmad Syam Nomor 70, Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang. Apa arti Motekar? “Motekar itu salah satu kata bahasa Sunda artinya kreatif. Tapi teh Nila (anak Supriatna) memaknainya sebagai singkatan dari ‘modal tekad pikeun mekar’ (modal tekad untuk berkembang),” kata Supriatna saat saya temui di Sanggar Motekar. Di sanggar ini diadakan kegiatan pelatihan cabang-cabang seni, mulai dari sastra, karawitan, tari, pencak silat, teater, sampai pendokumentasian budaya. Semuanya itu bernafaskan seni dan budaya Sunda.

Lebih lanjut, Supriatna yang juga ketua sanggar dan mantan ketua DKJ (Dewan Kesenian Jatinangor) ini mengatakan, kegiatan pelatihan seni tradisi ini bersifat rutin dan insidental. Pelatihan yang sifatnya rutin pada hari-hari tertentu, yaitu tari, teater, pencak silat, dan sastra. Sedangkan pelatihan yang sifatnya insidental dilakukan jika ada warga atau siswa yang belajar untuk menghadapi hari-hari besar nasional, kenaikan kelas, ataupun perlombaan. Karawitan merupakan kegiatan insidental yang banyak diminati saat sedang menghadapi hari-hari besar nasional.

Namun Supriatna mengeluhkan sedikitnya peminat untuk belajar seni tradisi Sunda di kalangan generasi muda. “Peminatnya dibandingkan dengan kesenian yang bukan seni tradisi tentu saja kalah jauh. Tapi jangan dulu menyalahkan generasi muda. Sebab fakta yang ditemukan oleh Motekar, ketika diperkenalkan, di antara mereka (anak-anak dan remaja) banyak juga yang menyenangi,” jelas Supriatna. Berpegang pada kenyataan tersebut, lebih lanjut ia mengatakan bahwa Motekar memiliki tujuan melestarikan seni tradisi Sunda dengan lebih difokuskan pada anak-anak dan remaja. “Motekar berpegang pada prinsip, tanpa kegiatan pewarisan, pelestarian itu omong kosong. Pewarisan itu jelas harus menyentuh anak muda dan anak-anak. Bukan orang-orang yang sudah tua. Kalau tidak melestarikan, ya memperlambat kematiannya lah,” katanya seraya tersenyum miris. Di Motekar sendiri tidak ada pungutan biaya bagi anak-anak dan remaja yang mau belajar. “Kita sudah ada yang mau belajar aja sudah seneng. Kita tidak komersil kok,” tegas Supriatna bersemangat.

Soal keadaan seni tradisi di Jatinangor, Supriatna punya pandangan yang kritis. Menurutnya, masalah seni tradisi Sunda, terutama di Jatinangor, sudah sangat gawat. “Kesenian tradisi yang merosot, sebenernya memang sudah sangat gawat. Ada fakta di lapangan yang barangkali tidak banyak orang mengetahui. Ambil contoh, seni cikeruhan. Sebagai salah satu kekayaan budaya Jatinangor sekarang cikeruhan sudah tidak mungkin lagi mengadakan pegelaran seni itu, karena para pemilik keterampilan itu tinggal satu orang. Kan pemainnya terdiri dari nayaga (penggesek rebab, penabuh ketuk tilu, pemukul kendang, penabuh gong, dan pemukul kecrek), penari, dan sinden. Yang paling dominan itu kendang ketuk tilu (ciri khas cikeruhan). Sedangkan yang bisa memukul kendang ketuk tilu itu cuma tinggal satu orang, yaitu Mang Didis. Identitas lain adalah penggesek rebab. Sedangkan penggesek rebab itu Mang Didis juga,” kata Supriatna prihatin.

Sayang sekali, seperti kebanyakan kegiatan yang berbau seni tradisi?perhatian pemerintah daerah terhadap sanggar ini tidak ada. Padahal masalah pelestarian seni tradisi saat ini sangat dibutuhkan. “Jatinangor itu dibandingkan dengan kecamatan-kecamatan lain di Kabupaten Sumedang, menerima terjangan pengaruh budaya asing yang sangat hebat. Sebetulnya potensi ini tiap-tiap daerah juga ya seperti itu. Dengan gelombang pengaruh asing yang datang dengan modal besar, dikemas dengan kemasan menawan, teknologi yang serba canggih, dan didukung oleh semua pihak?termasuk pemerintah, sehingga seni tradisi itu jadi semakin terpinggirkan. Dalam keadaan seperti itulah Motekar berdaya upaya menyelamatkan (seni tradisi Sunda),” terang Supriatna.

Berbeda dengan sanggar-sanggar lainnya, Motekar tidak hanya menyediakan perangkat pagelaran untuk even-even tertentu, melainkan juga melakukan riset dan penggalian yang disertai pendokumentasian artefak-artefak seni di Jatinangor. Di Jatinangor, pendokumentasian seni dan budaya yang telah dilakukan di antaranya gambar tempel (kerajinan tangan dari desa Cipacing), gotong domba, kuda renggong, dan cikeruhan. Pendokumentasian cikeruhan sendiri sedang berjalan saat ini, beriringan dengan pelatihan menabuh kendang ketuk tilunya. Selain seniman-seniman Jatinangor yang berkecimpung dalam usaha luhur ini juga terdapat beberapa mahasiswa yang masih peduli terhadap kelangsungan hidup seni dan budaya Sunda. Bahkan ia mengapresiasi mahasiswa yang menurutnya banyak membantu, khususnya dalam hal riset.

Saat ini, Sanggar Motekar sedang melakukan kegiatan-kegiatan yang sifatnya sangat “genting”. Saya katakan genting, karena kegiatan-kegiatan ini menyangkut seni dan tradisi yang hampir punah. Kegiatan-kegiatan tersebut, di antaranya mendirikan sekolah kuda renggong, pelatihan menabuh kendang cikeruhan, penciptaan notasi kendang untuk seni tradisi, membangun kembali taman bincarung (grup paduan suara nyanyian laras salendro dengan musik gamelan untuk anak-anak SD kelas 1-4) dan cangkurileung (grup paduan suara lagu-lagu laras elog dengan kecapi suling untuk anak-anak SD kelas 5-6), serta mendokumentasikan seni cikeruhan yang sedikit lagi punah. Menurut saya, penciptaan notasi kendang untuk seni tradisi itu yang paling unik dari beberapa kegiatan yang ada. Selama ini notasi pukulan kendang memang terdengar monoton dan begitu-begitu saja. Belum ada notasi pukulan kendang yang teratur dan bernada tetap. “Tapi kami baru ciptakan beberapa nada bunyi. Cukup sulit menciptakannya. Lagi pula kami juga masih mencari informasi. Siapa tau notasi pukulan kendang itu sudah ada dan sudah tercipta, tapi Motekar tidak tau,” ujar Supriatna.

Terakhir, saya berharap, meskipun tersengal-sengal tanpa dana yang memadai, semoga cita-cita luhur Sanggar Motekar mewariskan seni tradisi Sunda terus terjaga. Sebab, itulah identitas kita sesungguhnya. “Tanpa tau seni dan budayanya sendiri, kita seperti seekor ikan yang ada di kolam. Sedangkan banyak ikan-ikan lain yang dibeli dari luar kolam kita,” Supriatna mengibaratkan. Semoga kita masih peduli.

*Fandy Hutari, dimuat di www.indonesiaseni.com, 23 Maret 2010.

Jejak Sejarah di Jatinangor




Foto diambil dari atas jembatan penyebrangan depan Kampus Unpad pada 2005.


ALKISAH
, pada masa kolonial, Jatinangor terkenal sebagai kawasan perkebunan. Kini, kawasan ini dikenal sebagai kawasan pendidikan. Di kecamatan yang terletak di perbatasan antara Bandung dan Sumedang itu terdapat empat perguruan tinggi: Universitas Padjadjaran (Unpad), Universitas Winaya Mukti (Unwim), Institut Manajemen Koperasi Indonesia (Ikopin), dan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) serta beberapa sekolah negeri dari tingkat SD hingga SMU. Jatinangor sejak 1980-an dihuni oleh ribuan mahasiswa dari berbagai daerah di tanah air, warga setempat, dan pendatang yang mengadu nasib di wilayah ini.

Di antara empat perguruan tinggi terkenal dan geliat roda pembangunan, terdapat dua bangunan bersejarah yang menjadi saksi bisu kawasan itu. Bangunan tersebut adalah Menara Loji, terletak di sekitar halaman Universitas Winaya Mukti (Unwim) dan Jembatan Cincin, terdapat di desa Cikuda atau seberang Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (Fikom Unpad). Kedua bangunan ini memiliki riwayat sejarah yang panjang. Jika ditarik jauh ke belakang, tersebutlah nama WA Baron Baud seorang administratur perkebunan karet berkebangsaan Jerman di Jatinangor baheula. Ia mendirikan Ondernemingen van Maatschappij Baud (Perusahaan Perkebunan Baud) pada 1841 dan menanamkan modal bersama perusahaan perkebunan swasta milik Belanda. Baron Baud menguasai perkebunan yang luasnya hampir 962 hektare. Jika diperkirakan, lokasinya dari kampus IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri) sekarang sampai ke kaki gunung Manglayang. Baron Baud bukan satu-satunya orang Jerman yang memiliki perkebunan di wilayah Jawa Barat. Emir dan Theodore Hellferich tercatat juga sebagai orang Jerman pemilik Perkebunan Gunung Mas Bogor dan Perkebunan Cikopo Bogor.

Menara Loji didirikan sekitar tahun 1800-an. Dahulu fungsi menara ini sebagai pemanggil para buruh perkebunan karet yang jumlahnya tidak sedikit. Lonceng menara ini selalu berbunyi tiga kali dalam sehari. Tiap bunyi lonceng merupakan simbol penanda untuk setiap kegiatan perkebunan. Waktu-waktu lonceng itu berbunyi yaitu pukul 05.00 pagi, pukul 10.00 pagi, dan pukul 14.00 siang. Pukul 05.00 pagi berbunyi untuk menandakan aktifitas penyadapan karet, pukul 10.00 pagi berbunyi sebagai peringatan pengumpulan mangkok-mangkok getah karet, pukul 14.00 siang berbunyi guna penanda berakhirnya kegiatan produksi karet.


Menara Loji depan kampus Unwim.

Jembatan Cincin—begitulah masyarakat sekitar menyebutnya—mempunyai peranan yang penting dalam urusan transportasi hasil perkebunan karet di kawasan ini. Jembatan ini dahulu merupakan jalur kereta api yang menghubungkan Sumedang dengan Bandung. Ia tercatat sebagai jembatan penggerak laju ekonomi yang terpenting untuk kawasan ini. Jembatan ini dibangun oleh perusahaan kereta api Belanda bernama Staat Spoorwagen Verenigde Spoorwegbedrijf pada 1918 (Aci dan Tia dalam dJatinangor, September 2004). Selain dua bagunan tersebut, jalan raya utama di kawasan ini juga menyimpan nilai historis. Jalanan utama ini merupakan “patahan” dari Jalan Raya Pos (Grote Postweg) yang dibangun para pekerja rodi pada masa gubernur jenderal Herman Willem Daendels tahun 1808.

Sekarang dimanakah WA Baron Baud beristirahat abadi? Ternyata “sang juragan” karet baheula bersemayam di sekitar kawasan ini juga. Makamnya terletak tidak jauh dari Menara Loji. Makam Baud berdampingan dengan Mimosa, anak perempuan Baud yang lahir dari seorang nyai pribumi.



Jembatan Cincin.

Di tengah kesemrawutan lalu-lintas dan geliat modernitas kawasan ini, dua bangunan tersebut seolah “menunggu runtuh”. Kini kedua bangunan bersejarah itu terlihat tidak terawat. Menara Loji penuh dengan coretan di dindingnya. Yang juga ironis yaitu peristiwa pencurian lonceng Menara Loji pada 1980-an. Hingga kini misteri pencurian benda bersejarah itu masih buram ditelan waktu. Sedangkan Jembatan Cincin masih tetap berguna, meskipun hanya sebagai penghubung pejalan kaki dari desa Cikuda ke Cisaladah. Namun adakah upaya pelestarian oleh pemda setempat atau dinas yang terkait untuk kedua bangunan ini? Mungkin nasibnya akan sama dengan bangunan-bangunan bersejarah lainnya di Indonesia ini, terkubur bersama memori masa lalu.

* Fandy Hutari: www.sandiwaradanperang.blogspot.com

 
◄Design by Pocket, BlogBulk Blogger Templates. Distributed by Deluxe Templates