Rabu, 24 Maret 2010

Rabu, 24 Maret 2010 0
Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, kini ibarat Kabayan yang linglung di tengah kesibukan kota metropolitan. Terjadi krisis budaya akut di sini. Tapi di tengah gejala itu, berdiri sebuah sanggar yang punya tujuan luhur: mewariskan seni tradisi Sunda. Sanggar tersebut bernama Motekar.

Adalah Supriatna (58), seorang budayawan dan mantan kepala sekolah SD Jatinangor yang memelopori berdirinya sanggar ini. Sejak awal tahun 1980, ia mulai menggeluti seni tradisi Sunda. Awalnya ia mengadakan kegiatan berkesenian di rumahnya pada tahun 1980. Saat itu, ia memberikan pelatihan seni tradisi bagi siswa-siswanya untuk menghadapi hari-hari besar, seperti 17 Agustusan, dan berbagai perlombaan. Selain siswa-siswanya, ia juga mengajak penduduk sekitar rumahnya untuk ikut dalam kegiatan tersebut.

Pada tahun 2000, Supriatna mendirikan Yayasan Motekar di rumahnya. Yayasan ini membawahi berbagai macam kegiatan, seperti pendidikan (taman kanak-kanak, kursus bahasa Inggris, bahasa Jepang, dan matematika), kesenian dan kebudayaan, juga usaha kecil. Dari sini, pria yang tak kenal lelah mengampanyekan gairah seni tradisi Sunda ke seluruh penjuru Jatinangor ini terus mengembangkan perhatiannya pada masalah seni dan budaya Sunda. Kemudian pada tahun 2002 Sanggar Motekar resmi berdiri di rumahnya yang sederhana, Jalan Kolonel Achmad Syam Nomor 70, Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang. Apa arti Motekar? “Motekar itu salah satu kata bahasa Sunda artinya kreatif. Tapi teh Nila (anak Supriatna) memaknainya sebagai singkatan dari ‘modal tekad pikeun mekar’ (modal tekad untuk berkembang),” kata Supriatna saat saya temui di Sanggar Motekar. Di sanggar ini diadakan kegiatan pelatihan cabang-cabang seni, mulai dari sastra, karawitan, tari, pencak silat, teater, sampai pendokumentasian budaya. Semuanya itu bernafaskan seni dan budaya Sunda.

Lebih lanjut, Supriatna yang juga ketua sanggar dan mantan ketua DKJ (Dewan Kesenian Jatinangor) ini mengatakan, kegiatan pelatihan seni tradisi ini bersifat rutin dan insidental. Pelatihan yang sifatnya rutin pada hari-hari tertentu, yaitu tari, teater, pencak silat, dan sastra. Sedangkan pelatihan yang sifatnya insidental dilakukan jika ada warga atau siswa yang belajar untuk menghadapi hari-hari besar nasional, kenaikan kelas, ataupun perlombaan. Karawitan merupakan kegiatan insidental yang banyak diminati saat sedang menghadapi hari-hari besar nasional.

Namun Supriatna mengeluhkan sedikitnya peminat untuk belajar seni tradisi Sunda di kalangan generasi muda. “Peminatnya dibandingkan dengan kesenian yang bukan seni tradisi tentu saja kalah jauh. Tapi jangan dulu menyalahkan generasi muda. Sebab fakta yang ditemukan oleh Motekar, ketika diperkenalkan, di antara mereka (anak-anak dan remaja) banyak juga yang menyenangi,” jelas Supriatna. Berpegang pada kenyataan tersebut, lebih lanjut ia mengatakan bahwa Motekar memiliki tujuan melestarikan seni tradisi Sunda dengan lebih difokuskan pada anak-anak dan remaja. “Motekar berpegang pada prinsip, tanpa kegiatan pewarisan, pelestarian itu omong kosong. Pewarisan itu jelas harus menyentuh anak muda dan anak-anak. Bukan orang-orang yang sudah tua. Kalau tidak melestarikan, ya memperlambat kematiannya lah,” katanya seraya tersenyum miris. Di Motekar sendiri tidak ada pungutan biaya bagi anak-anak dan remaja yang mau belajar. “Kita sudah ada yang mau belajar aja sudah seneng. Kita tidak komersil kok,” tegas Supriatna bersemangat.

Soal keadaan seni tradisi di Jatinangor, Supriatna punya pandangan yang kritis. Menurutnya, masalah seni tradisi Sunda, terutama di Jatinangor, sudah sangat gawat. “Kesenian tradisi yang merosot, sebenernya memang sudah sangat gawat. Ada fakta di lapangan yang barangkali tidak banyak orang mengetahui. Ambil contoh, seni cikeruhan. Sebagai salah satu kekayaan budaya Jatinangor sekarang cikeruhan sudah tidak mungkin lagi mengadakan pegelaran seni itu, karena para pemilik keterampilan itu tinggal satu orang. Kan pemainnya terdiri dari nayaga (penggesek rebab, penabuh ketuk tilu, pemukul kendang, penabuh gong, dan pemukul kecrek), penari, dan sinden. Yang paling dominan itu kendang ketuk tilu (ciri khas cikeruhan). Sedangkan yang bisa memukul kendang ketuk tilu itu cuma tinggal satu orang, yaitu Mang Didis. Identitas lain adalah penggesek rebab. Sedangkan penggesek rebab itu Mang Didis juga,” kata Supriatna prihatin.

Sayang sekali, seperti kebanyakan kegiatan yang berbau seni tradisi?perhatian pemerintah daerah terhadap sanggar ini tidak ada. Padahal masalah pelestarian seni tradisi saat ini sangat dibutuhkan. “Jatinangor itu dibandingkan dengan kecamatan-kecamatan lain di Kabupaten Sumedang, menerima terjangan pengaruh budaya asing yang sangat hebat. Sebetulnya potensi ini tiap-tiap daerah juga ya seperti itu. Dengan gelombang pengaruh asing yang datang dengan modal besar, dikemas dengan kemasan menawan, teknologi yang serba canggih, dan didukung oleh semua pihak?termasuk pemerintah, sehingga seni tradisi itu jadi semakin terpinggirkan. Dalam keadaan seperti itulah Motekar berdaya upaya menyelamatkan (seni tradisi Sunda),” terang Supriatna.

Berbeda dengan sanggar-sanggar lainnya, Motekar tidak hanya menyediakan perangkat pagelaran untuk even-even tertentu, melainkan juga melakukan riset dan penggalian yang disertai pendokumentasian artefak-artefak seni di Jatinangor. Di Jatinangor, pendokumentasian seni dan budaya yang telah dilakukan di antaranya gambar tempel (kerajinan tangan dari desa Cipacing), gotong domba, kuda renggong, dan cikeruhan. Pendokumentasian cikeruhan sendiri sedang berjalan saat ini, beriringan dengan pelatihan menabuh kendang ketuk tilunya. Selain seniman-seniman Jatinangor yang berkecimpung dalam usaha luhur ini juga terdapat beberapa mahasiswa yang masih peduli terhadap kelangsungan hidup seni dan budaya Sunda. Bahkan ia mengapresiasi mahasiswa yang menurutnya banyak membantu, khususnya dalam hal riset.

Saat ini, Sanggar Motekar sedang melakukan kegiatan-kegiatan yang sifatnya sangat “genting”. Saya katakan genting, karena kegiatan-kegiatan ini menyangkut seni dan tradisi yang hampir punah. Kegiatan-kegiatan tersebut, di antaranya mendirikan sekolah kuda renggong, pelatihan menabuh kendang cikeruhan, penciptaan notasi kendang untuk seni tradisi, membangun kembali taman bincarung (grup paduan suara nyanyian laras salendro dengan musik gamelan untuk anak-anak SD kelas 1-4) dan cangkurileung (grup paduan suara lagu-lagu laras elog dengan kecapi suling untuk anak-anak SD kelas 5-6), serta mendokumentasikan seni cikeruhan yang sedikit lagi punah. Menurut saya, penciptaan notasi kendang untuk seni tradisi itu yang paling unik dari beberapa kegiatan yang ada. Selama ini notasi pukulan kendang memang terdengar monoton dan begitu-begitu saja. Belum ada notasi pukulan kendang yang teratur dan bernada tetap. “Tapi kami baru ciptakan beberapa nada bunyi. Cukup sulit menciptakannya. Lagi pula kami juga masih mencari informasi. Siapa tau notasi pukulan kendang itu sudah ada dan sudah tercipta, tapi Motekar tidak tau,” ujar Supriatna.

Terakhir, saya berharap, meskipun tersengal-sengal tanpa dana yang memadai, semoga cita-cita luhur Sanggar Motekar mewariskan seni tradisi Sunda terus terjaga. Sebab, itulah identitas kita sesungguhnya. “Tanpa tau seni dan budayanya sendiri, kita seperti seekor ikan yang ada di kolam. Sedangkan banyak ikan-ikan lain yang dibeli dari luar kolam kita,” Supriatna mengibaratkan. Semoga kita masih peduli.

*Fandy Hutari, dimuat di www.indonesiaseni.com, 23 Maret 2010.

Jejak Sejarah di Jatinangor




Foto diambil dari atas jembatan penyebrangan depan Kampus Unpad pada 2005.


ALKISAH
, pada masa kolonial, Jatinangor terkenal sebagai kawasan perkebunan. Kini, kawasan ini dikenal sebagai kawasan pendidikan. Di kecamatan yang terletak di perbatasan antara Bandung dan Sumedang itu terdapat empat perguruan tinggi: Universitas Padjadjaran (Unpad), Universitas Winaya Mukti (Unwim), Institut Manajemen Koperasi Indonesia (Ikopin), dan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) serta beberapa sekolah negeri dari tingkat SD hingga SMU. Jatinangor sejak 1980-an dihuni oleh ribuan mahasiswa dari berbagai daerah di tanah air, warga setempat, dan pendatang yang mengadu nasib di wilayah ini.

Di antara empat perguruan tinggi terkenal dan geliat roda pembangunan, terdapat dua bangunan bersejarah yang menjadi saksi bisu kawasan itu. Bangunan tersebut adalah Menara Loji, terletak di sekitar halaman Universitas Winaya Mukti (Unwim) dan Jembatan Cincin, terdapat di desa Cikuda atau seberang Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (Fikom Unpad). Kedua bangunan ini memiliki riwayat sejarah yang panjang. Jika ditarik jauh ke belakang, tersebutlah nama WA Baron Baud seorang administratur perkebunan karet berkebangsaan Jerman di Jatinangor baheula. Ia mendirikan Ondernemingen van Maatschappij Baud (Perusahaan Perkebunan Baud) pada 1841 dan menanamkan modal bersama perusahaan perkebunan swasta milik Belanda. Baron Baud menguasai perkebunan yang luasnya hampir 962 hektare. Jika diperkirakan, lokasinya dari kampus IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri) sekarang sampai ke kaki gunung Manglayang. Baron Baud bukan satu-satunya orang Jerman yang memiliki perkebunan di wilayah Jawa Barat. Emir dan Theodore Hellferich tercatat juga sebagai orang Jerman pemilik Perkebunan Gunung Mas Bogor dan Perkebunan Cikopo Bogor.

Menara Loji didirikan sekitar tahun 1800-an. Dahulu fungsi menara ini sebagai pemanggil para buruh perkebunan karet yang jumlahnya tidak sedikit. Lonceng menara ini selalu berbunyi tiga kali dalam sehari. Tiap bunyi lonceng merupakan simbol penanda untuk setiap kegiatan perkebunan. Waktu-waktu lonceng itu berbunyi yaitu pukul 05.00 pagi, pukul 10.00 pagi, dan pukul 14.00 siang. Pukul 05.00 pagi berbunyi untuk menandakan aktifitas penyadapan karet, pukul 10.00 pagi berbunyi sebagai peringatan pengumpulan mangkok-mangkok getah karet, pukul 14.00 siang berbunyi guna penanda berakhirnya kegiatan produksi karet.


Menara Loji depan kampus Unwim.

Jembatan Cincin—begitulah masyarakat sekitar menyebutnya—mempunyai peranan yang penting dalam urusan transportasi hasil perkebunan karet di kawasan ini. Jembatan ini dahulu merupakan jalur kereta api yang menghubungkan Sumedang dengan Bandung. Ia tercatat sebagai jembatan penggerak laju ekonomi yang terpenting untuk kawasan ini. Jembatan ini dibangun oleh perusahaan kereta api Belanda bernama Staat Spoorwagen Verenigde Spoorwegbedrijf pada 1918 (Aci dan Tia dalam dJatinangor, September 2004). Selain dua bagunan tersebut, jalan raya utama di kawasan ini juga menyimpan nilai historis. Jalanan utama ini merupakan “patahan” dari Jalan Raya Pos (Grote Postweg) yang dibangun para pekerja rodi pada masa gubernur jenderal Herman Willem Daendels tahun 1808.

Sekarang dimanakah WA Baron Baud beristirahat abadi? Ternyata “sang juragan” karet baheula bersemayam di sekitar kawasan ini juga. Makamnya terletak tidak jauh dari Menara Loji. Makam Baud berdampingan dengan Mimosa, anak perempuan Baud yang lahir dari seorang nyai pribumi.



Jembatan Cincin.

Di tengah kesemrawutan lalu-lintas dan geliat modernitas kawasan ini, dua bangunan tersebut seolah “menunggu runtuh”. Kini kedua bangunan bersejarah itu terlihat tidak terawat. Menara Loji penuh dengan coretan di dindingnya. Yang juga ironis yaitu peristiwa pencurian lonceng Menara Loji pada 1980-an. Hingga kini misteri pencurian benda bersejarah itu masih buram ditelan waktu. Sedangkan Jembatan Cincin masih tetap berguna, meskipun hanya sebagai penghubung pejalan kaki dari desa Cikuda ke Cisaladah. Namun adakah upaya pelestarian oleh pemda setempat atau dinas yang terkait untuk kedua bangunan ini? Mungkin nasibnya akan sama dengan bangunan-bangunan bersejarah lainnya di Indonesia ini, terkubur bersama memori masa lalu.

* Fandy Hutari: www.sandiwaradanperang.blogspot.com

Senin, 15 Maret 2010

Harga Kos Versus Kurs Dollar: Annual Tahunan Jatinangor

Senin, 15 Maret 2010 0
Setiap tahun, ada ritual yang dijalankan oleh para mahasiswa yang tinggal di Jatinangor. Ritual yang kadang diinsyafi mahasiswa sebagai sesuatu yang melelahkan, tapi mendatangkan rejeki bagi para fasilitator. Ritual “Pindah Kosan”, ritual yang juga memiliki sifat religius bagi sebagian penganutnya. Untuk menarik minat para mahasiswa, para pemilik atau pengurus pondok kos dengan tanggung jawab membuat bersih pondokan dengan sangat cermat seperti kuil ritual. Persis seperti mitos agama yang ada, kebersihan bagian dari iman. Jadi wajar jika banyak pencuri membersihkan sendal-sendal yang berantakan di luar mesjid. Atau tangan jahil yang membereskan uang-uang yang berantakan dari kotak amal atau hasil sumbangan jemaat. Kebersihan bagian dari iman (apalagi kalo malingnya bernama iman).
Yah apapun itu, kosan bagi para mahasiswa rantau merupakan bagian dari paket pendidikan yang mereka jalani. Mereka memperlakukan uang kosan sama seperti uang SPP kuliah. Mahasiswa sama mudahnya menggunakan uang SPP atau uang kosan untuk keperluan lain. Buntut-buntutnya repot saat mau ujian karena tidak memegang kartu ujian yang bercap lunas SPP, atau sidang tersendat karena menunggak biaya kuliah, atau mendapat “semprotan” dari Bapak kosan yang tiba-tiba wataknya berubah dari sangat agamis menjadi uangis (istilah saya untuk penggambaran prilaku sadar seseorang yang digerakkan atau dimotivasi oleh uang). Terlepas dari itu (maksudnya saat sudah lepas dari masalah yang disebabkan karena “memakan” uang kosan), pondok kos merupakan faktor penting bagi mahasiswa. Ada faktor yang mengatakan, dengan pondok kos yang kondusif maka mahasiswa mendapat tempat yang ideal untuk belajar. Faktor lain juga mengatakan, dengan pondok kos yang kondusif maka mahasiswa mendapat tempat yang ideal untuk bersenang-senang dengan teman kos-nya, seperti dapat bermain game multiplayer bersama, bermain kartu dengan taruhan berbagai rupa (dari mulai traktir lumpia basah hingga lenyapnya uang kuliah). Hal tersebut membuat mahasiswa sangat selektif dalam memilih pondok kosan. Apalagi menyoal tentang harga.
Harga kosan di Jatinangor memiliki beragam pilihan (tinggal pilih mau harga kosan yang cukup merogoh kantong orang tua atau hingga harga yang bisa membuat orangtua menjual mobil atau rumah). Harga juga memiliki pengaruh pada pilihan kosan. Teori umum yang masih berlaku mengatakan, “semakin murah harga kosan, maka semakin jauh jarak dari kampus. Semakin mahal maka semakin dekat dengan kampus”. Tapi tentu teori ini tidak lengkap, karena muncul teori baru yang menambahi, “semakin mahal harga kosan maka semakin nyaman fasilitas yang kita dapatkan, semakin murah maka nyamuk dan jamur yang kita akrabkan”. Kebutuhan akan kosan ini menjadi ladang bisnis cair bagi pengusaha pondok kosan. Uang akan terus mengalir setiap tahun (atau tiap bulan, untuk pondok kosan yang menyediakan kos paket bulanan). Jumlah mahasiswa rasanya semakin banyak tiap tahun, sehingga tata letak bangunan di Jatinangor menjadi semakin rapat (mungkin pada akhirnya Jatinangor akan menjadi new cicadas, Bandung). Ada satu fakta yang melekat pada ladang bisnis kos di Jatinangor ini. Inflasi harga kos di Jatinangor mengalahkan kurs dollar di bursa saham.
Jika dollar pasti mengalami fluktuasi, maka tidak akan pernah terjadi pada harga kosan di Jatinangor. Setiap tahun harga kos terus mengalami kenaikan. Beragam, mulai dari 100ribu-hingga 1juta, tingkat kenaikannya. Tidak heran jika ada pendapat baru yang muncul, “sekarang, daripada ngekos mending nyicil rumah di Jatinangor”. Kenaikan harga yang kadang tidak masuk akal ini, tidak diimbangi dengan peningkatan fasilitas pondok kos tersebut. Sehingga membuat banyak mahasiswa yang akhirnya memutuskan hidup berpindah-pindah, dari satu kos murah ke kos yang lebih murah. (red/idu)

Jumat, 05 Maret 2010

Berkenalan lewat gambar

Jumat, 05 Maret 2010 2




(diambil dari bebagai sumber)

tentang Jatinangor


(diambil dari wikipedia.com)

Jatinangor adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat,

Nama Jatinangor sebagai nama kecamatan baru dipakai sejak tahun 2000-an. Sebelumnya, kecamatan ini bernama Cikeruh. Nama Jatinangor sendiri adalah nama blok perkebunan di kaki Gunung Manglayang yang kemudian dijadikan kompleks kampus sejumlah perguruan tinggi di sana. Dari Topografische Kaart Blaad L.XXV tahun 1908 dan Blaad H.XXV tahun 1909 yang diterbitkan oleh Topografische Dienst van Nederlands Oost Indie, telah dijumpai nama Jatinangor di tempat yang sekarang juga bernama Jatinangor. Ketika itu, daerah Jatinangor termasuk ke dalam Afdeeling Soemedang, District Tandjoengsari. Nama Cikeruh sendiri diambil dari sungai (Ci Keruh) yang melintasi kecamatan tersebut. Pada Peta Rupabumi Digital Indonesia No. 1209-301 Edisi I tahun 2001 Lembar Cicalengka yang diterbitkan oleh BAKOSURTANAL masih dijumpai nama Kecamatan Cikeruh untuk daerah yang saat ini dikenal sebagai Kecamatan Jatinangor. Pada beberapa dokumen resmi dan setengah resmi saat ini, masih digunakan nama Kecamatan Cikeruh. Kecamatan ini terletak pada koordinat 107o 45’ 8,5” – 107o 48’ 11,0” BT dan 6o 53’ 43,3” – 6o 57’ 41,0” LS. Kode Pos untuk kecamatan ini adalah 45363.

Klimatologi dan Geologi

Sebagaimana daerah lain di kawasan Cekungan Bandung, iklim yang berkembang di Jatinangor adalah iklim tropis pegunungan.

Titik terendah di kecamatan ini terletak di daerah Desa Cintamulya setinggi 675 m di atas permukaan laut, sedangkan titik tertingginya terletak di puncak Gunung Geulis setinggi 1.281 m di atas permukaan laut. Sungai-sungai penting di Jatinangor meliputi Ci Keruh, Ci Beusi, Ci Caringin, Ci Leles, dan Ci Keuyeup.

Geomorfologi daerah Jatinangor meliputi tiga satuan geomorfologi, yaitu :

1. Satuan geomorfologi pedataran volkanik, di bagian selatan.
2. Satuan geomorfologi perbukitan volkanik landai, di bagian utara.
3. Satuan geomorfologi perbukitan volkanik terjal, di bagian timur.

Geologi daerah Jatinangor terdiri dari tiga satuan batuan (Silitonga, 1972), yaitu :

1. Satuan hasil gunungapi muda. Berumur Kuarter, didominasi oleh batuan volkaniklastik, tersebar di bagian utara dan tengah daerah Jatinangor. Satuan ini tersingkap baik di aliran Ci Keruh.
2. Satuan lava gunungapi muda. Berumur Kuarter, didominasi oleh lava, merupakan batuan utama pembentuk Gunung Geulis.
3. Satuan endapan danau. Berumur Kuarter, didominasi oleh batuan sedimen yang merupakan sisa endapan Danau Bandung, tersebar di bagian baratdaya daerah Jatinangor.

Hidrogeologi daerah Jatinangor meliputi tiga daerah akuifer, yaitu :

1. Akuifer produktif sedang, berupa akuifer dengan aliran melalui ruang antar butir, di bagian selatan.
2. Akuifer produktif sedang, berupa akuifer dengan aliran melalui celahan dan ruang antar butir, di bagian utara.
3. Airtanah langka atau tidak berarti, berupa akuifer bercelah atau sarang dengan produktivitas kecil atau daerah airtanah langka, di bagian timur.

Pendidikan

Saat ini Jatinangor dikenal sebagai salah satu kawasan pendidikan di Jawa Barat. Pencitraan ini merupakan dampak langsung pembangunan kampus beberapa institusi perguruan tinggi di kecamatan ini. Perguruan tinggi yang saat ini memiliki kampus di Jatinangor yaitu :

1. Universitas Padjadjaran (UNPAD) di Desa Hegarmanah dan Desa Cikeruh.
2. Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) di Desa Cibeusi. Sebelumnya bernama Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN).
3. Institut Koperasi Indonesia (IKOPIN) di Desa Cibeusi.
4. Universitas Winaya Mukti (UNWIM) di Desa Sayang.

Seiring dengan hadirnya kampus-kampus tersebut, Jatinangor juga mengalami perkembangan fisik yang pesat. Sebagaimana halnya yang menimpa lahan pertanian lain di Pulau Jawa, banyak lahan pertanian di Jatinangor yang berubah fungsi menjadi rumah sewa untuk mahasiswa ataupun pusat perbelanjaan.

Objek Penting

Beberapa objek penting yang ada di Jatinangor antara lain meliputi objek bersejarah dan objek pariwisata. Objek bersejarah tersebut berupa menara jam di kampus UNWIM dan jembatan Cikuda yang saat ini lebih dikenal dengan sebutan Jembatan Cincin. Dulu jembatan tersebut digunakan sebagai jembatan rel kereta yang menghubungkan jalur kereta dari arah Tanjungsari ke Rancaekek.

Menara jam – yang sering disebut Menara Loji oleh masyarakat sekitar – itu dibangun sekira tahun 1800-an. Menara tersebut pada mulanya berfungsi sebagai sirene yang berbunyi pada waktu-waktu tertentu sebagai penanda kegiatan yang berlangsung di perkebunan karet milik Baron Baud. Bangunan bergaya neo-gothic ini dulunya berbunyi tiga kali dalam sehari. Pertama, pukul 05.00 sebagai penanda untuk mulai menyadap karet; pukul 10.00 sebagai penanda untuk mengumpulkan mangkok-mangkok getah karet; dan terakhir pukul 14.00 sebagai penanda berakhirnya kegiatan produksi karet.

Baron Baud adalah seorang pria berkebangsaan Jerman yang menanamkan modal bersama perusahaan swasta milik Belanda dan pada tahun 1841 mendirikan perkebunan karet bernama Cultuur Ondernemingen van Maatschapij Baud yang luas tanahnya mencapai 962 hektar. Perkebunan karet ini membentang dari tanah IPDN hingga Gunung Manglayang.

Sekira tahun 1980-an lonceng Menara Loji dicuri dan hingga kini kasusnya masih belum jelas; baik mengenai pencurinya, apa motifnya, dan bagaimana tindak lanjut dari pihak berwenang. Bahkan Pemerintah Daerah (Pemda) Sumedang – selaku pihak yang seharusnya mengawasi pemeliharaan cagar budaya – pun tidak tahu-menahu mengenai kelanjutan kisah pencurian itu. Saat ini Menara Loji nampak tidak terurus. Perawatan terakhir menara ini berupa pengecatan ulang yang dilakukan oleh pihak Rumah Tangga UNWIM pada tahun 2000.

Jembatan di Cikuda – yang sering disebut sebagai Jembatan Cincin oleh masyarakat sekitar – pada mulanya dibangun sebagai penunjang lancarnya kegiatan perkebunan karet. Jembatan Cincin dibangun oleh perusahaan kereta api Belanda yang bernama Staat Spoorwagen Verenidge Spoorwegbedrijf pada tahun 1918. Jembatan ini berguna untuk membawa hasil perkebunan; dan pada masanya, jembatan ini menjadi salah satu roda penggerak perkebunan karet terbesar di Jawa Barat.

Sebagaimana halnya dengan Menara Loji, tidak ada satupun instansi yang mau menangani perawatan jembatan bersejarah ini. Baik Pemda Sumedang maupun PT KAI (Kereta Api Indonesia) – dua pihak yang cukup berkepentingan dengan Jembatan Cincin – menyatakan bahwa pemeliharaan Jembatan Cincin tidak termasuk dalam tanggungjawabnya. Menurut PT KAI, jembatan ini tidak pernah diperbaiki karena sudah tidak digunakan lagi. Sedangkan menurut Dinas Budaya dan Pariwisata (Disbudpar) Pemda Sumedang, perawatan bangunan bersejarah tidak termasuk dalam tanggung jawab dinas tersebut karena dinas ini hanya bertugas memperhatikan dan membina nilai-nilai budaya.

Objek pariwisata di Jatinangor antara lain meliputi Bumi Perkemahan Kiara Payung dan Bandung Giri Gahana (Golf and Resor). Walaupun demikian, sebenarnya sebagian besar tanah Bumi Perkemahan Kiara Payung terletak dalam wilayah Kecamatan Tanjungsari. Selain itu, Jalan Raya Jatinangor sepanjang 4,83 km yang menghubungkan Bandung dengan Sumedang merupakan penggalan dari De Groote Postweg (Jalan Raya Pos) yang dibuat oleh Maarschalk en Gouverneur Generaal, Mr. Herman Willem Daendels pada tahun 1808.

Lalu-lintas

Satu hal yang menarik dan menjadi ciri khas Indonesia nampak jelas dalam proses pembuatan jalan raya baru satu arah dari kampus IKOPIN sampai ke gerbang lama UNPAD. Dengan teknologi dan peralatan berat yang tersedia, jalan raya sepanjang sekira satu kilometer ini membutuhkan waktu hingga empat tahun untuk pembuatannya (pertengahan 2005 - pertengahan 2009). Proses pembuatan jalan raya baru ini nampak ditelantarkan jika dibandingkan dengan proses pembuatan dan perbaikan Jalan Raya Pos sepanjang sekira 1.000 km yang hanya membutuhkan waktu satu tahun (Mei 1808 - pertengahan 1809).

Pembuatan jalan raya baru ini dimaksudkan untuk mengurangi kemacetan lalu-lintas yang ditimbulkan oleh kegiatan penduduk Jatinangor. Selain sarana-sarana perbelanjaan yang bertebaran di sepanjang Jalan Raya Pos, Pasar UNPAD pada setiap hari Minggu juga sempat
 
◄Design by Pocket, BlogBulk Blogger Templates. Distributed by Deluxe Templates