Rabu, 24 Maret 2010

Rabu, 24 Maret 2010
Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, kini ibarat Kabayan yang linglung di tengah kesibukan kota metropolitan. Terjadi krisis budaya akut di sini. Tapi di tengah gejala itu, berdiri sebuah sanggar yang punya tujuan luhur: mewariskan seni tradisi Sunda. Sanggar tersebut bernama Motekar.

Adalah Supriatna (58), seorang budayawan dan mantan kepala sekolah SD Jatinangor yang memelopori berdirinya sanggar ini. Sejak awal tahun 1980, ia mulai menggeluti seni tradisi Sunda. Awalnya ia mengadakan kegiatan berkesenian di rumahnya pada tahun 1980. Saat itu, ia memberikan pelatihan seni tradisi bagi siswa-siswanya untuk menghadapi hari-hari besar, seperti 17 Agustusan, dan berbagai perlombaan. Selain siswa-siswanya, ia juga mengajak penduduk sekitar rumahnya untuk ikut dalam kegiatan tersebut.

Pada tahun 2000, Supriatna mendirikan Yayasan Motekar di rumahnya. Yayasan ini membawahi berbagai macam kegiatan, seperti pendidikan (taman kanak-kanak, kursus bahasa Inggris, bahasa Jepang, dan matematika), kesenian dan kebudayaan, juga usaha kecil. Dari sini, pria yang tak kenal lelah mengampanyekan gairah seni tradisi Sunda ke seluruh penjuru Jatinangor ini terus mengembangkan perhatiannya pada masalah seni dan budaya Sunda. Kemudian pada tahun 2002 Sanggar Motekar resmi berdiri di rumahnya yang sederhana, Jalan Kolonel Achmad Syam Nomor 70, Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang. Apa arti Motekar? “Motekar itu salah satu kata bahasa Sunda artinya kreatif. Tapi teh Nila (anak Supriatna) memaknainya sebagai singkatan dari ‘modal tekad pikeun mekar’ (modal tekad untuk berkembang),” kata Supriatna saat saya temui di Sanggar Motekar. Di sanggar ini diadakan kegiatan pelatihan cabang-cabang seni, mulai dari sastra, karawitan, tari, pencak silat, teater, sampai pendokumentasian budaya. Semuanya itu bernafaskan seni dan budaya Sunda.

Lebih lanjut, Supriatna yang juga ketua sanggar dan mantan ketua DKJ (Dewan Kesenian Jatinangor) ini mengatakan, kegiatan pelatihan seni tradisi ini bersifat rutin dan insidental. Pelatihan yang sifatnya rutin pada hari-hari tertentu, yaitu tari, teater, pencak silat, dan sastra. Sedangkan pelatihan yang sifatnya insidental dilakukan jika ada warga atau siswa yang belajar untuk menghadapi hari-hari besar nasional, kenaikan kelas, ataupun perlombaan. Karawitan merupakan kegiatan insidental yang banyak diminati saat sedang menghadapi hari-hari besar nasional.

Namun Supriatna mengeluhkan sedikitnya peminat untuk belajar seni tradisi Sunda di kalangan generasi muda. “Peminatnya dibandingkan dengan kesenian yang bukan seni tradisi tentu saja kalah jauh. Tapi jangan dulu menyalahkan generasi muda. Sebab fakta yang ditemukan oleh Motekar, ketika diperkenalkan, di antara mereka (anak-anak dan remaja) banyak juga yang menyenangi,” jelas Supriatna. Berpegang pada kenyataan tersebut, lebih lanjut ia mengatakan bahwa Motekar memiliki tujuan melestarikan seni tradisi Sunda dengan lebih difokuskan pada anak-anak dan remaja. “Motekar berpegang pada prinsip, tanpa kegiatan pewarisan, pelestarian itu omong kosong. Pewarisan itu jelas harus menyentuh anak muda dan anak-anak. Bukan orang-orang yang sudah tua. Kalau tidak melestarikan, ya memperlambat kematiannya lah,” katanya seraya tersenyum miris. Di Motekar sendiri tidak ada pungutan biaya bagi anak-anak dan remaja yang mau belajar. “Kita sudah ada yang mau belajar aja sudah seneng. Kita tidak komersil kok,” tegas Supriatna bersemangat.

Soal keadaan seni tradisi di Jatinangor, Supriatna punya pandangan yang kritis. Menurutnya, masalah seni tradisi Sunda, terutama di Jatinangor, sudah sangat gawat. “Kesenian tradisi yang merosot, sebenernya memang sudah sangat gawat. Ada fakta di lapangan yang barangkali tidak banyak orang mengetahui. Ambil contoh, seni cikeruhan. Sebagai salah satu kekayaan budaya Jatinangor sekarang cikeruhan sudah tidak mungkin lagi mengadakan pegelaran seni itu, karena para pemilik keterampilan itu tinggal satu orang. Kan pemainnya terdiri dari nayaga (penggesek rebab, penabuh ketuk tilu, pemukul kendang, penabuh gong, dan pemukul kecrek), penari, dan sinden. Yang paling dominan itu kendang ketuk tilu (ciri khas cikeruhan). Sedangkan yang bisa memukul kendang ketuk tilu itu cuma tinggal satu orang, yaitu Mang Didis. Identitas lain adalah penggesek rebab. Sedangkan penggesek rebab itu Mang Didis juga,” kata Supriatna prihatin.

Sayang sekali, seperti kebanyakan kegiatan yang berbau seni tradisi?perhatian pemerintah daerah terhadap sanggar ini tidak ada. Padahal masalah pelestarian seni tradisi saat ini sangat dibutuhkan. “Jatinangor itu dibandingkan dengan kecamatan-kecamatan lain di Kabupaten Sumedang, menerima terjangan pengaruh budaya asing yang sangat hebat. Sebetulnya potensi ini tiap-tiap daerah juga ya seperti itu. Dengan gelombang pengaruh asing yang datang dengan modal besar, dikemas dengan kemasan menawan, teknologi yang serba canggih, dan didukung oleh semua pihak?termasuk pemerintah, sehingga seni tradisi itu jadi semakin terpinggirkan. Dalam keadaan seperti itulah Motekar berdaya upaya menyelamatkan (seni tradisi Sunda),” terang Supriatna.

Berbeda dengan sanggar-sanggar lainnya, Motekar tidak hanya menyediakan perangkat pagelaran untuk even-even tertentu, melainkan juga melakukan riset dan penggalian yang disertai pendokumentasian artefak-artefak seni di Jatinangor. Di Jatinangor, pendokumentasian seni dan budaya yang telah dilakukan di antaranya gambar tempel (kerajinan tangan dari desa Cipacing), gotong domba, kuda renggong, dan cikeruhan. Pendokumentasian cikeruhan sendiri sedang berjalan saat ini, beriringan dengan pelatihan menabuh kendang ketuk tilunya. Selain seniman-seniman Jatinangor yang berkecimpung dalam usaha luhur ini juga terdapat beberapa mahasiswa yang masih peduli terhadap kelangsungan hidup seni dan budaya Sunda. Bahkan ia mengapresiasi mahasiswa yang menurutnya banyak membantu, khususnya dalam hal riset.

Saat ini, Sanggar Motekar sedang melakukan kegiatan-kegiatan yang sifatnya sangat “genting”. Saya katakan genting, karena kegiatan-kegiatan ini menyangkut seni dan tradisi yang hampir punah. Kegiatan-kegiatan tersebut, di antaranya mendirikan sekolah kuda renggong, pelatihan menabuh kendang cikeruhan, penciptaan notasi kendang untuk seni tradisi, membangun kembali taman bincarung (grup paduan suara nyanyian laras salendro dengan musik gamelan untuk anak-anak SD kelas 1-4) dan cangkurileung (grup paduan suara lagu-lagu laras elog dengan kecapi suling untuk anak-anak SD kelas 5-6), serta mendokumentasikan seni cikeruhan yang sedikit lagi punah. Menurut saya, penciptaan notasi kendang untuk seni tradisi itu yang paling unik dari beberapa kegiatan yang ada. Selama ini notasi pukulan kendang memang terdengar monoton dan begitu-begitu saja. Belum ada notasi pukulan kendang yang teratur dan bernada tetap. “Tapi kami baru ciptakan beberapa nada bunyi. Cukup sulit menciptakannya. Lagi pula kami juga masih mencari informasi. Siapa tau notasi pukulan kendang itu sudah ada dan sudah tercipta, tapi Motekar tidak tau,” ujar Supriatna.

Terakhir, saya berharap, meskipun tersengal-sengal tanpa dana yang memadai, semoga cita-cita luhur Sanggar Motekar mewariskan seni tradisi Sunda terus terjaga. Sebab, itulah identitas kita sesungguhnya. “Tanpa tau seni dan budayanya sendiri, kita seperti seekor ikan yang ada di kolam. Sedangkan banyak ikan-ikan lain yang dibeli dari luar kolam kita,” Supriatna mengibaratkan. Semoga kita masih peduli.

*Fandy Hutari, dimuat di www.indonesiaseni.com, 23 Maret 2010.

0 komentar:

Posting Komentar

 
◄Design by Pocket, BlogBulk Blogger Templates. Distributed by Deluxe Templates